Makalah Analisis Wacana dalam Pembelajaran Bahasa
MAKALAH
“Analisis Wacana dalam Pembelajaran Bahasa”
Dosen pembimbing :
M. Bayu Firmansyah, M.Pd
Disusun Oleh :
Nama : Kunzita Lazuardy R.
NIM : 16188201036
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
STKIP PGRI PASURUAN
Jl. Ki Hajar Dewantara No. 27-29 Pasuruan
2016-2017
KATA PENGANTAR
Segala puji dan
syukur kami ucapkan
kehadirat Tuhan
Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat dan anugerah-Nya kami dapat
menyelesaikan tugas individu mata kuliah Pembelajaran
Bahasa Indonesia. Makalah Analisis Wacana dalam Pembelajaran Bahasa ini
saya buat dalam rangka menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Bapak Bayu Firmansyah M.Pd selaku dosen
mata kuliah Pembelajaran Bahasa Indonesia.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini,
khususnya kepada dosen mata kuliah ini selaku pembimbing kami. Kami sadar
makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan
saran dari para pembaca agar kedepannya makalah ini dapat lebih baik lagi.
Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk kami khususnya dan
bagi para pembaca umumnya.
Pasuruan, 17
November 2017
Penulis
|
DAFTAR
ISI
Halaman
KATA PENGANTAR
.......................................................................................... i
DAFTAR ISI
........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
………........................................................................1
1.2 Rumusan
Masalah ...............................................................................1
1.3 Tujuan
.................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Analisis pemakaian bahasa ……………………….……………........3
2.2 Pemahaman
mengenai teks ………..…………………………....…...3
2.3 Peran
akonteaks situasi dalam interpretasi wacana…………....…….4
2.4 Topik
dan referensi isi dalam wacana..………………………..….....5
2.5 Kohesi
dan koherensi dalam wacana...…………….………..………6
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan
............................................................................................9
3.2 Saran
.................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................11
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Wacana bersifat kontekstual, sebuah
ujaran yang sama namun memiliki konteks yang berbeda akan menghasilkan dua
wacana yang berbeda. Sebagai contoh adalah dua orang yang saling bercakap-cakap
dalam status percakapan antar teman atau antar orang yang berstatus sama,
setelah beberapa menit kemudian dapat menempatkan mereka dalam status yang
berbeda seperti antara dokter dan pasiennya. Ciri berikutnya yaitu wacana
didukung oleh subjek, hal ini berarti bahwa wacana selalu berkaitan dengan
subjek. Biasanya subjek muncul menentukan siapa yang bertangggung jawab
terhadap apa yang di ujarkan (Maingueneau, 1998)
Wacana merupakan unsur kebahasaan
yang relatif paling kompleks dan paling lengkap. Satuan pendukung kebahasaannya
meliputi fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat paragraf, hingga karangan
utuh. Tujuannya, tidak lain, untuk membekali pemakai bahasa agar dapat memahami
dan memakai bahasa dengan baik dan benar.
Kajian wacana berkaitan dengan
pemahaman tentang tindakan manusia yang dilakukan dengan bahasa (verbal) dan
bukan bahasa (nonverbal). Hal ini menunjukkan, bahwa untuk memahami wacana
dengan baik dan tepat, diperlukan bekal bekal pengetahuan kebahasaan, dan bukan
kebahasaan (umum). Pernyataan itu mengisyaratkan, betapa luas runag lingkup
yang harus ditelusuri dalam kajian wacana (Soenjono Dardjowidjojo, 1986).
1.2
Rumusan Masalah
1) Bagaimana
analisis pemakaian bahasa?
2) Bagaimana
memahami teks?
3) Bagaimana
peranan konteks situasi dalam interpretasi wacana?
4) Bagaimana
topik dan respresentasi isi dalam wacana?
5) Bagaimana
kohesi dan koherensi dalam wacana?
1.3 Tujuan
1) Menjelaskan
mengenai analisis pemakaian bahasa.
2) Menjelaskan
mengenai memahami teks.
3) Menjelaskan
mengenai peran konteks situasi dalam interpretasi wacana.
4) Menjelaskan
mengenai topik dan respresentasi isi wacana.
5) Menjelaskan
mengenai kohesi dan koherensi dalam wacana.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Analisis Pemakaian Bahasa
Sejak tahun 1984 Kurikulum Bahasa Indonesia telah
memasukkan Pragmatik sehingga setiap unit pelajaran bahasa Indonesia meliputi
membaca, kosakata, struktur, menulis, pragmatik, dan apresiasi sastra atau
bahasa. Pragmatik pada hakikatnya adalah studi bahasa dari sudut pemaknaannya
atau bahasa dalam pemakaiannya (language
in use) (Levinson,1983).
Analisis wacana sebagai studi bahasa yang didasarkan pada
pendekatan Prakmatik berarti mengkaji wacana bahasa dalam pemakaiannya
berdasarkan konteks situasinya. Wacana yaitu suatu kontruksi yang terdiri atas
kalimat yang satu diikuti oleh kalimat lain, yang merupakan suatu keutuhan
kontruksi dan makna (Samsuri, 1986). Dengan demikian sebenarnya wacana dapat
berupa wacana lisan maupun tulis. Wacana tulis biasa disebut teks, namun karena
wacana lisan bila akan dianalisis juga harus ditranskrip dalam bentuk tulisan,
keduanya juga disebut teks.
Analisis wacana pada dasarnya ingin menganalisis dan
menginterpretasi pesan yang dimaksud pembicara atau penulis dengan cara
merekontruksi teks sebagai produk ujaran atau tulisan kepada proses ujaran atau
tulisan sehingga diketahui segala konteks yang mendukung wacana pada saat
diujarkan atau dituliskan.
2.2 Pemahaman Teks
Teks adalah bahasa yang berfungsi, maksudnya adalah bahasa yang
sedang melakukan tugas tertentu (menyampaikan pesan atau informasi) dalam
konteks situasi, berlainan dengan kata-kata atau kalimat-kalimat lepas yang
mungkin dituliskan. Bentuknya bisa percakapan dan tulisan (bentuk-bentuk yang
kita gunakan untuk menyatakan apa saja yang kita pikirkan).
Teks merupakan produk, artinya bahwa teks itu merupakan
keluaran (output) yakni sesuatu yang dapat direkam atau dipelajari (berwujud).
Teks juga merupakan proses, dalam arti merupakan proses pemilihan makna yang
terus-menerus, maksudnya ketika kita menerima atau memberi informasi dalam
bentuk teks (lisan atau tulisan) maka tentunya di dalam otak kita terjadi
proses pemahaman (pemilihan makna) terhadap informasi tersebut, jangan sampai
terjadi kesalahpahaman.
(Samsuri,
1986) menyetakan bahwa ada 7 syarat kewacanaan suatu teks wacana, yaitu:
kohesi, koherensi, intensionalitas, akseptabilitas, informativitas,
situasionalitas, dan keinterwacanaan. Pertama Kohesi merupakan bagaimana
komponen yang satu berhubungan dengan komponen yang lain. Kedua Koherensi
merupakan caraa bagaimana komponen-komponen wacana yang berupa konfigurasi
konsep dan hubungan, menjadi relevan dan saling mengikat. Ketiga
Intensionalitas merupakan sikap penghasil wacana agar perangkat
kejadian-kejadian membentuk sarana teks yang bersifat kohesif maupun koheren
dalam melaksanakan keinginan, penghasil seperti mengatur pembagian pengetahuan
atau memperoleh sasaran yang dirinci dalam suatu rancangan. Keempat
Akseptabilitas merupakan suatu wacana menunjukkan seberapa besar keberterimaan
wacana bagi penerima wacana. Kelima Informativitas merupakan seberapa besar
suatu wacana berkadar informasi bagi penerima wacana. Keenam Situasionalitas
merupakan faktor-faktor yang menyebabkan suatu wacana relevan dengan situasi
yang sedang berlangsung. Ketujuh Keinterwacanaan yaitu segala hal yang
berurusan dengan faktor-faktor yang menyebabkan penggunaan wacana yang satu
bergantung pada pengetahuan tentang satu wacana atau lebih yang ditemui sebelumnya.
Kewacanaan
suatu teks akan membantu peneliti untuk menginterpretasi siapa, kapan, situasi
semacam apa serta apa maksud wacana tersebut. Pemahaman suatu teks dapat
dilakukan dengan cara merekonstruksi teks wacana sebagai produk kepada wacana
sebagai proses. Dengan demikian suatu teks akan dikembalikan pada bentuk semula
baik lisan maupun tertulis.
2.3 Peranan Konteks Situasi dalam
Interpretasi Wacana
Analisis wacana menganalisis penggunaan bahasa dalam
konteks situasi pembicara atau penulis, sedangkanpenelitian wacana lebih
difokuskan pada hubungan pembicara dengan ujaran dan terutama yang menjadi
sebab penggunaannya. Dengan demikian analisis wacana akan mendeskripsikan apa
yang dimaksudkan oleh pembicara dan pendengar melalui wacana tersebut. Dalam
hal ini perlu diperhatikan mengenai referensi, praanggapan, implikatur,
inferensi, konteks situasi, ko-teks, dan interpretasi local.
Pertama Referensi, dalam
pandangan lama merupakn hubungan antara kata dengan bendanya. Misalnya kata
kursi berarti merujuk pada benda yang berfungsi sebagai tempat duduk. Kedua
Praanggapan yakni apa yang dianggap oleh pembicara menjadi dasar pemahaman
bersama (common ground) lawan bicara
dalam percakapan (Brown, 1985: 29). Ketiga Implikatur, tahap ini digunakan
dengan maksud apakah pembicara dapat membayangkan, mengingat atau mengartikan
secara berbeda yang dinyatakan oleh pembicara secara literal (trice, 1975 dalam
Brown, 1985: 31). Keempat Inferensi merupakan alat untuk mengambil kesimpulan.
Misalnya ujaran “Sumuk, lho!” inferensinya udaranya panas sehingga sumuk.
Namun, menarik kesimpulan hanya dengan alat inferensi saja kadang-kadang belum
cukup, inferensi juga harus memperhatikan ko-teks (co-teks) sebelum atau
sesudahnya ujaran tersebut. Kelima Konteks situasi yaitu segala situasi yang
dapat melingkupi suatu ujaran dan dapat menentukan maksud. Keenam Ko-teks adalah kalimat yang ada sebelum atau
sesudah ujaran untuk membantu interpretasi suatu ujaran. Ketujuh Interpretasi
Lokal merupakan interpretasi yang berupa prinsip yang menganjurkan kepada
pendengar untuk menyusun konteks yang lebih luas dari pada yang diperlukan
untuk sampai pada interpretasi yang ingin diinginkan.
2.4.
Topik dan Representasi Isi Wacana
Topik dalam suatu wacana
tidak sama dengan topik alam suatu kalimat. Kalimat: Orang itu bagus sekali
rumahnya. Frasa orang itu adalah topik (subjek) sedang bagus sekali rumahnya
adalah keterangan yang terdiri dari bagus sekali sebagai predikat dan rumahnya,
sebagai subjek. Dalam analisis wacana kalimat tersebut tidak akan disikapi
demikian, karena topik yang dimaksud adalah topiknya pembicara. Dengan demikian
topik kalimat diatas adalah bagus sekali. Frasa bagus sekali menjadi substansi
dari rumahnya (ada rumah yang jelek, rumah yang cukup bagus, dan rumah yang bagus
sekali).
Di dalam analisis wacana,
bila kita menghadapi percakapan dua orang atau lebih yang harus diperhatikan
adalah saat terjadinya perubahan dari topik pembicaraan ditandai dengan
paragraf sedang dalam percakapan dinamakan paraton (perubahan pola informasi).
Dalam bahasa lisan yang terpenting adalah memperhatikan pemarkah-pemarkah
paraton tersebut. Biasanya berupa kata-kata, intonasi yang melemah dan
sebagainya.
2.5
Kohesi dan Koherensi dalam Wacana
Kohesi merupakan aspek
formal bahasa dalam wacana (hubungan yang tampak pada bentuk). Kohesi merupakan
organisasi sintaktik, merupakan wadah-wadah kalimat disusun secara padu dan
padat untuk menghasilkan tuturan. Dalam hal ini berarti pula bahwa kohesi
adalah hubungan antarkalimat di dalam sebuah wacana, baik dalam strata
gramatikal maupun dalam strata leksikal tertentu (Gutwinsky dalam Tarigan
1987:96).
James (dalam Tarigan
1987:97) menyebutkan bahwa suatu teks atau wacana benar-benar bersifat kohesif
apabila terdapat kesesuaian secara bentuk bahasa (language form) terhadap
ko-teks (situasi-dalam bahasa, sebagai lawan dari konteks atau situasi-luar
bahasa). Dengan perkataan lain, ketidaksesuaian bentuk bahasa dengan koteks dan
juga dengan konteks akan menghasilkan teks yang tidak kohesif. Kohesi dalam
paragraf adalah tarik menarik antarkalimat dalam paragraf sehingga
kalimat-kalimat itu tidak saling bertentangan, tetapi tampak menyatu dan
bersama-sama mendukung pokok pikiran paragraf. Paragraf yang demikian disebut
sebagai paragraf yang padu (kohesif) (Wiyanto 2004:32).
Konsep kohesi mengacu pada
hubungan bentuk antar unsur-unsur wacana sehingga memiliki keterkaitan secara
padu. Dengan adanya hubungan kohesif itu, suatu unsur dalam wacana dapat
diinterprestasikan sesuai dengan keterkaitannya dengan unsur-unsur yang lain.
Hubungan kohesif dalam wacana sering ditandai dengan penanda-penanda kohesi,
baik yang sifatnya gramatikal maupun leksikal. Ramlan (1993) menguraikan
sejumlah penanda hubungan antarkalimat dalam wacana bahasa Indonesia.
Kohesi dalam wacana
diartikan sebagai kepaduan bentuk secara structural membentuk ikatan
sintaktikal. Anton M. Moelino ( 1988:34)
menyatakan bahwa wacana yang baik dan utuh mensyaratkan kalimat-kalimat
yang kohesif. Konsep kohesif sebenarnya mengacu kepada hubungan bentuk. Artinya
unsur-unsur wacana (kata atau kalimat) yang digunakan untuk menyusun suatu
wacana memiliki keterkaitan secara padu dan utuh. Menurut Anton M. Moelino, dkk
( 1987:96) untuk memperoleh wacana yang baik dan utuh, maka kalimat-kalimatnya
harus kohesif. Hanya dengan hubungan kohesif seperti itulah suatu unsur dalam
wacana dapat di interpretasikan, sesuai dengan ketergantungannya dengan unsur-unsur
lainnya.
Koherensi adalah kekompakan
hubungan antar kalimat dalam wacana. Koherensi juga hubungan timbal balik yang
serasi antar unsur dalam kalimat Keraf (dalam Mulyana 2005: 30). Sejalan dengan
hal tersebut Halliday dan Hasan (dalam Mulyana 2005: 31) menegaskan bahwa
struktur wacana pada dasarnya bukanlah struktur sintaktik, melainkan struktur
semantik, yakni semantik kalimat yang di dalamnya mengandung
proposisi-proposisi. Sebab beberapa kalimat hanya akan menjadi wacana sepanjang
ada hubungan makna (arti) di antara kalimat-kalimat itu sendiri.
Sedangkan Koherensi
merupakan hubungan perkaitan antarproposisi, tetapi perkaitan tersebut tidak
secara eksplisit atau nyata dapat dilihat pada kalimat-kalimat yang
mengungkapkannya (Alwi dkk 2003:428). Harimurti Kridalaksana (dalam Mulyana
2005:32) mengemukakan bahwa hubungan koherensi wacana sebenarnya adalah
hubungan semantis. Artinya, hubungan itu terjadi antar proposisi. Secara
struktural, hubungan itu direpresentasikan oleh pertautan secara semantis
antara kalimat (bagian) yang satu dengan kalimat lainnya. Hubungan maknawi ini
kadang-kadang ditandai oleh alat leksikal, namun kadang-kadang tanpa petanda.
Dalam struktur wacana, aspek
koherensi sangat diperlukan keberadaannya untuk menata pertalian batin antara
proposisi yang satu dengan lainnya untuk mendapatkan keutuhan. Keutuhan yang
koheren tersebut dijabarkan oleh adanya hubungan-hubungan makna yang terjadi
antarunsur secara semantis.
Pada dasarnya hubungan
koherensi adalah suatu rangkaian fakta dan gagasan yang teratur dan tersusun
secara logis. Koherensi dapat terjadi secara implisit (terselubung) karena
berkaitan dengan bidang makna yang memerlukan interprestasi. Di samping itu,
pemahaman hubungan koherensi dapat ditempuh dengan cara menyimpulkan hubungan
antarproposisi dalam tubuh wacana itu. Kohesi dapat diungkapkan secara
eksplisit, yaitu dinyatakan dalam bentuk penanda koherensi yang berupa penanda
hubungan antarkalimat. Penanda hubungan itu berfungsi untuk menghubungkan
kalimat sekaligus menambah kejelasan hubungan antarkalimat dalam wacana.
Tujuan pemakaian aspek atau
sarana koherensi antara lain ialah agar tercipta suasana dan struktur wacana
yang memiliki sifat serasi, runtut, dan logis. Sifat serasi artinya sesuai,
cocok, dan harmonis. Kesesuaian terletak pada serasinya hubungan antarproposisi
dalam kesatuan wacana. Runtut artinya urut, sistematis, tidak terputus-putus,
tetapi bertautan satu sama lain. Keruntutan artinya umumnya terjadi dalam
susunan kalimat (struktur). Asas ini diperlukan untuk mengintegrasikan secara
rapi unsur-unsur wacana ke dalam satu kesatuan sehingga tidak terjadi loncatan-loncatan
pikiran. Sifat logis mengandung arti masuk akal, wajar, jelas, dan mudah
dimengerti. Suatu rangkaian kalimat yang tidak memiliki hubungan bentuk dan
makna secara logis tidak dapat dikatakan sebagai wacana (Mulyana 2005:35).
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
1) Analisis
Pemakaian Bahasa
Sejak tahun 1984 Kurikulum Bahasa
Indonesia telah memasukkan Pragmatik sehingga setiap unit pelajaran bahasa
Indonesia meliputi membaca, kosakata, struktur, menulis, pragmatik, dan
apresiasi sastra atau bahasa. Pragmatik pada hakikatnya adalah studi bahasa
dari sudut pemaknaannya atau bahasa dalam pemakaiannya (language in use) (Levinson,1983).
2) Pemahaman
Teks
Teks adalah bahasa yang berfungsi,
maksudnya adalah bahasa yang sedang melakukan tugas tertentu (menyampaikan
pesan atau informasi) dalam konteks situasi, berlainan dengan kata-kata atau
kalimat-kalimat lepas yang mungkin dituliskan. Bentuknya bisa percakapan dan
tulisan (bentuk-bentuk yang kita gunakan untuk menyatakan apa saja yang kita
pikirkan).
3) Peran
Konteks Situasi dalam Interpretasi Wacana
Analisis
wacana menganalisis penggunaan bahasa dalam konteks situasi pembicara atau
penulis, sedangkanpenelitian wacana lebih difokuskan pada hubungan pembicara
dengan ujaran dan terutama yang menjadi sebab penggunaannya. Dengan demikian
analisis wacana akan mendeskripsikan apa yang dimaksudkan oleh pembicara dan
pendengar melalui wacana tersebut. Dalam hal ini perlu diperhatikan mengenai
referensi, praanggapan, implikatur, inferensi, konteks situasi, ko-teks, dan
interpretasi local.
4) Topik
dan Representasi Isi Wacana
Topik dalam suatu wacana tidak sama
dengan topik alam suatu kalimat. Di dalam analisis wacana, bila kita menghadapi
percakapan dua orang atau lebih yang harus diperhatikan adalah saat terjadinya
perubahan dari topik pembicaraan ditandai dengan paragraf sedang dalam
percakapan dinamakan paraton (perubahan pola informasi).
5) Kohesi
dan Koherensi dalam Wacana
Kohesi merupakan aspek formal bahasa
dalam wacana (hubungan yang tampak pada bentuk). Kohesi merupakan organisasi
sintaktik, merupakan wadah-wadah kalimat disusun secara padu dan padat untuk
menghasilkan tuturan. Dalam hal ini berarti pula bahwa kohesi adalah hubungan
antarkalimat di dalam sebuah wacana, baik dalam strata gramatikal maupun dalam
strata leksikal tertentu (Gutwinsky dalam Tarigan 1987:96).
Koherensi adalah kekompakan hubungan
antar kalimat dalam wacana. Koherensi juga hubungan timbal balik yang serasi
antar unsur dalam kalimat Keraf (dalam Mulyana 2005: 30). Sejalan dengan hal
tersebut Halliday dan Hasan (dalam Mulyana 2005: 31) menegaskan bahwa struktur
wacana pada dasarnya bukanlah struktur sintaktik, melainkan struktur semantik,
yakni semantik kalimat yang di dalamnya mengandung proposisi-proposisi. Sebab beberapa
kalimat hanya akan menjadi wacana sepanjang ada hubungan makna (arti) di antara
kalimat-kalimat itu sendiri.
3.2
Saran
1)
Bagi Mahasiswa
Dalam
penulisan makalah yang berjudul ANALISIS WACANA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA, penulis mengharapkan agar seluruh mahasiswa
mengerti mengenai pentingnya analisis
wacana.
2)
Bagi Dosen
Dalam
penulisan makalah, penulis mengharapkan agar kedepannya mata kuliah
Pembelajaran BI menjadi lebih baik karena banyaknya literatur yang digunakan.
3)
Bagi Perspustakaan
Dalam
penulisan makalah ini, penulis dituntut untuk banyak membaca serta mengumpulkan
beberapa informasi. Akan tetapi karena kurangnya literatur yang ada di
perpustakaan sendiri, maka lebih mempersulit lagi dalam mencari sumber. Penulis
mengharapkan agar perpustakaan menambah literatur untuk mempermudah dalam
mencari informasi serta sumber.
Daftar
Pustaka
Pranowo. 2015. Teori
Belajar Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Komentar
Posting Komentar